Sepasang muda
mudi sedang berdoa di depan kuil berwarna merah. Di sudut lain, seorang remaja
putri sedang menuliskan harapan cintanya di sebuah papan kayu kecil yang biasa
disebut “Ema”. Lain lagi di seberang, saya melihat sekolompok remaja sedang
tertawa berfoto di depan sebongkah batu besar.
Begitulah suasana
Jishu-jinja yang dikenal oleh warga sebagai kuil untuk memohon cinta dan
pernikahan yang bahagia. Berbeda dengan kuil lainnya yang
telah saya kunjungi selama berada di Kyoto, suasana kuil Jishu terasa hidup dan
lebih cerah. Yang datang pun, lebih banyak anak-anak muda Jepang, selain turis
tentunya.
Banyaknya
turis yang datang ke kuil Jishu didukung oleh papan tanda berbahasa Inggris yang
dipasang untuk menjelaskan benda-benda di dalam kuil. Maka, hati-hati kalau
datang pas siang hari karena kuil Jishu yang tidak terlalu luas ini menjadi cukup
penuh sesak!
Kuil ini terletak di dalam kompleks Kiyomizu-dera, agak di tengah kompleks dan perlu menanjak beberapa anak tangga untuk mencapainya. Namun, meski
terkesan menyatu dengan Kiyomizudera (yang merupakan kuil agama Budha), kuil Jishu
adalah kuil independen dan merupakan tempat beribadah pemeluk agama Shinto yang
mengenal berbagai macam dewa.
Daya tarik
utama turis datang ke kuil Jishu adalah untuk mencoba peruntungan di “batu
cinta”, yaitu sepasang batu besar yang terpisah sekitar 10 meter. Sebuah papan
di dekat batu tersebut menjelaskan bahwa jika seseorang berhasil berjalan
dengan mata tertutup dari satu batu ke batu lainnya, maka ia akan mendapatkan
cinta sejati. Ketika berjalan, boleh juga teman-temannya membantu mengarahkan,
namun ini berarti untuk mendapatkan cinta sejatinya, akan diperlukan
”perantara”.
Bagaimana
jika tidak berhasil di batu cinta? Tidak perlu khawatir,
karena kuil ini juga menjual berbagai jimat. Ada jimat khusus untuk pernikahan
bahagia, hubungan yang langgeng bahkan jimat sesuai dengan zodiak untuk
membantu melancarkan nasib percintaan.